Posts tagged ‘capres’

Yang Tersisa Dari Debat Capres Jilid 2

Twitter : @senyumdunia

 

Sengaja penulis menunggu hingga semua hingar bingar yang bergaung berlalu atau setidaknya hampir berlalu. Melalui tulisan ini penulis akan mencoba untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Di balik kebisingan dan kesinisan yang kerap beresonansi di ruang publik, ada hal-hal positif yang sayangnya seakan hanyut dalam isu-isu lain yang dipandang lebih seksi dan sensasional. Pertama-tama, hal-hal positif yang dimaksud adalah, adanya kesadaran publik untuk bergerak melakukan pengecekan fakta dan data. Hasilnyapun begitu cepat tersebar dan beresonansi di ruang publik yang berkembang menjadi diskusi yang menarik dan substantif.

Adanya kesadaran untuk ikut memverifikasi fakta dan data merupakan cerminan kesungguhan masyarakat untuk memperoleh data yang akurat dari sumber-sumber yang kredibel, terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Maklum saja, tidak cuma jelang pemilu, tapi selama beberapa tahun belakangan ini lini masa cukup dipadati informasi palsu atau lazim disebut hoaks. Sasaran penyebaran hoaks terutama para pengguna sosial media. Berita-berita palsu ini konon beredar juga di grup-grup WA. Kesadaran untuk mencari informasi yang tepat, merupakan inisiatif dan evolusi yang laik diapresiasi dan diharapkan akan terus berlanjut,  hingga ruang-ruang peredaran berita palsu, hoaks apalagi fitnah akan semakin sempit dan bukan tidak mungkin sirna.

Sebelum melanjutkan kepada sorotan berikutnya, harus penulis akui ketika debat berlangsung, penampilan kedua capres sangat baik bahkan bisa dikatakan lebih baik daripada debat pertama. Harus diakui ada perbedaan gaya di antara keduanya, walaupun strategi yang diterapkan masih belum berubah dan diperkirakan akan tetap sama hingga debat terakhir.

Salah satu topik yang masih dibahas beberapa media, setidaknya hingga blog ini ditulis adalah seputar konsesi lahan. Polemik ini bermula dari pernyataan pertahana yang menyoal “kepemilikan lahan” dalam debat kedua yang “disambut” sekaligus diklarifikasi penantang yang secara eksplisit lahan yang dimaksud memiliki status HGU. Seiring dengan bergulirnya polemik ini, beberapa media, termasuk di antaranya media online berlomba-lomba untuk mengupas topik ini dengan tidak hanya mengundang timses tapi juga para pakar di bidangnya dan juga para aktivis LSM. Tidak sedikit juga masyarakat yang berusaha menambah pengetahuan yang tidak hanya mencakup HGU tetapi juga reformasi agraria pada umumnya melalui media-media online.

Sekali lagi, ini adalah bukti lain dari kuatnya keinginan masyarakat untuk terus bergerak untuk memprovokasi pikiran. Itu artinya juga, para calon pemilih menyadari bahwa mereka juga bisa memainkan peran dan tidak lagi berperan sebagai penonton yang suaranya diperlukan untuk kepentingan elektroral.

Sebagai penutup, tentu saja mengenai Unicorn, tidak kalah menarik untuk disoroti. Jujur saja, sebelum kata ini terlontar pada perhelatan debat kedua, penulis tidak pernah berpikir kalau Unicorn adalah sebutan bagi perusahaan perintis yang bermodal besar. Andai saja, istilah yang digunakan adalah “start up”, masih bisa penulis pahami. Di sisi lain, ketidaktahuan ini yang justru memantik keingintahuan yang lebih besar. Beruntung kita hidup di era digital, dalam sekejap informasi yang diperlukan tersaji, lengkap dengan data dan fakta “unicorn” di Indonesia. Hasilnya, perlahan tapi pasti khasanah pengetahuanpun bertambah.

Debat kedua dengan segala dinamikanya biarlah berlalu, namun semangat untuk mencerdaskan diri sendiri dan menebarkan “virus” kebaikkan tidak boleh berlalu. Dengan semangat persatuan dan kesatuan pula, mari kita jelang debat cawapres, yang akan digelar pada tanggal 17 Maret nanti.

Maret 5, 2019 at 1:08 pm Tinggalkan komentar

Bursa Cawapres : Ada Dia Yang Lain

Twitter : @SenyumDunaia

Hari Kamis silam, menjadi momen yang melegakan sekaligus penuh kejutan. Setelah berhari-hari bahkan berbulan-bulan menanti, jutaan rakyat Indonesia akhirnya menjadi saksi deklarasi pasangan capres-cawapres yang akan ambil bagian pada kontestasi pilpres tahun depan.

Dari koalisi petahana ada pasangan Jokowi-KH Makhruf Amin sedangkan di koalisi penantang ada nama Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno. Keempatnya merupakan putra terbaik bangsa yang mencerminkan keragaman latar belakang yang punya satu tujuan, kebaikan bangsa dan negara.

Ada pelajaran baik sekaligus menarik yang bisa kita ambil dari balik deklarasi bacapres-bacawapres kali ini. Dari koalisi petahana, usia bacawapres yang diusung bukanlah penghalang untuk maju menunaikan tugas yang lebih besar dalam semangat. Dengan latar belakang bacawapresnya seorang ulama, beliau membawa pengetahuan dan pengalaman yang bisa dikontribusikan sebagai “pasangan” yang akan mendampingi petahana.

Sementara di koalisi penantang, seolah melengkapi, bacawapres diambil dari calon berusia muda. Usia muda merupakan cerminan generasi penerus. Terlepas dari usianya yang terbilang muda, pengalamannya dalam dunia usaha, segudang prestasi dan kiprah singkatnya sebagai pejabat publik merupakan bekal penting untuk berlaga pada kontestasi pilpres kali ini.

Pelajaran menarik lainnya, betapa pentingnya nilai kompromi dan pengorbanan. Kedua kolisi melalui tahapan yang sangat panjang, alot dan melelahkan, terutama dalam proses penentuan calon wakil presiden yang akan diusung.

Sebagian bagian dari realitas politik, seperti dalam kontestasi pemilu yang lalu, tidak ada satupun partai yang boleh atau memenuhi syarat untuk mengusung calon sendirian. Koalisi adalah satu-satunya jalan, jika partai politik yang memiliki kursi berdasarkan pemilu 5 tahun yang lalu ingin mengusung capres-cawapres. Itu artinya, capres dan cawapres harus didaftarkan bersama-sama ke KPU. Tanpa adanya cawapres, seorang capres tidak akan mungkin mendaftar sendiri ke KPU.

Dalam suatu koalisi yang terdiri dari banyak partai, tidaklah mudah untuk menyatukan suara. Bisa dibayangkan jika setiap partai punya aspirasi, calon dan bahkan sudut pandang berbeda. Sementara hanya ada 1 tempat yang tersedia untuk posisi cawapres. Guna menghantarkan 1 calon, perlu adanya kesepakatan di antara partai koalisi. Suatu kesepakatan dapat dibangun jika ada pihak-pihak yang legowo dan bahkan berkorban.

Dari koalisi petahana misalnya, cawapres akhirnya diambil dari kalangan non partai. Karena ini dinilai jalan yang paling baik dan dapat diterima seluruh partai pengusung yang tergabung dalam koalisi. Dengan kata lain, tidak ada partai yang kadernya terpilih untuk maju sebagai cawapres.

Tidak kalah peliknya, hal yang sama juga terjadi di koalisi penantang. Meski ketika dicalonkan, cawapres masih duduk di partai yang sama dengan capresnya, namun sebagai bentuk kompromi, cawapres terpilih rela untuk keluar partai dan maju sebagai calon non partai. Tidak hanya itu, untuk menjaga totalitas dan sebagai bentuk komitmen penuh, kursi wakil gubernur DKI yang juga diperoleh dengan susah payah harus ditinggalkan.

Dinamika politik yang digambarkan di atas adalah pelajaran penting kalau koalisi, kompromi, musyawarah menuju mufakat merupakan realitas politik yang saat ini bergulir. Ada beberapa orang yang “menyayangkan” mengapa tanding ulang ini harus terjadi. Hal ini dikarenakan adanya UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal yang digugat itu mengatur bahwa syarat pencalonan presiden adalah memiliki dukungan 20 persen suara di parlemen. Dengan adanya aturan ini, mau tidak mau partai politik (hasil pemilu sebelumnya) harus berkoalisi. Sebaliknya jika tidak ada ambang batas, maka partai politik peserta pemilu punya hak untuk mengusung calonnya sendiri, dan dengan sendirinya akan hadir lebih banyak calon yang berkontestasi.

Selain merepotkan partai politik, adanya ambang batas ini menyulitkan kandidat yang akan bertarung, karena mereka tidak dalam posisi yang leluasa. Mereka akan sangat bergantung kepada jumlah partai pengusung demi memenuhi ambang batas persentase dukungan suara yang ditentukan.

Kita lihat bagaimana selanjutnya wacana ini akan bergulir. Sementara itu, kita hormati segala tahapan yang telah ditetapkan KPU, hingga jelang hari pemilihan pada bulan April tahun 2019 nanti.

 

Agustus 21, 2018 at 7:16 am Tinggalkan komentar

Puasa, Kampanye Dan Pencitraan

 

Twitter : @SenyumDunia

 

Pemilhan presiden kali ini jatuh di bulan Ramadhan, bulan suci ini sedianya menjadi bulan di mana kita merenung dan memperbanyak ibadah.

Namun apakah para capres kita melihatnya dari sudut pandang yang sama, dengan kata lain, puasa pencitraan? Atau justru malah melihat bulan ini sebagai momen untuk memaksimalkan pencintraan?

Jawabannya sangat sederhana, kita semua akan menjadi saksi bagaimana para capres beserta timsesnya melalui momen ini. Semoga saja, mereka tidak mendadak jadi agamis hanya karena ingin tampil di media, atau lebih parah lagi, ingin dicap merakyat. Apalagi, dalam bulan suci ini begitu banyak momen yang dengan sangat mudah dipergunakan sebagai sarana pencintraan demi menarik simpati pemilih. Sebut saja acara buka puasa bersama, beramal di sana sini, atau mungkin sahur bersama dan atau dengan menjadi nara sumber di perbagai acara yang sarat nuansa Ramadhan.

Semua tentu saja mungkin dan semua merupakan cerminan perbuatan baik. Bedanya, apakah mereka semua dengan berjiwa besar mau melakukan perbuatan baik tanpa harus diliput media? Mampukah mereka beramal dengan ikhlas tanpa mengharapkan suara rakyat?

Jawaban yang pasti hanya mereka yang tahu. Namun kita semua tidaklah naïf dalam menyikapi fenomena ini. Apalagi, pemilihan presidennya sendiri, tinggal menghitung hari. Bisa dimengerti, jika tidak satupun dari mereka ingin melalui momen ini dengan kampanye dalam nuansa Ramadhan.

Meski bukan tidak mungkin, selama bulan suci ini, kita tidak melihat adanya sesuatu yang luar biasa. Dalam kata lain, kampanye berjalan seperti biasa tanpa melibatkan pernak pernik Ramadhan (baca : dengan maksud pencitraan) apalagi sampai melakukan kampanye di tempat ibadah. Jika ini yang terjadi, maka para capres kita tidak hanya memahami arti kata pencintraan, tetapi juga memahami betapa lelahnya rakyat dengan pencitraan. Dan tentu saja, mereka perlu diacungi jempol.

Hal lain yang laiknya menjadi bahan renungan, tidak hanya kubu capres tapi juga media, sesiap apakah mereka menghindari atau setidaknya mengurangi pemberitaan negatif mengenai capres lawan.  Saya sengaja menyoroti hal ini, karena bukan rahasia umum, jika kedua pasang capres  didukung setidaknya dua stasiun televisi swasta ternama. Saya menyayangkan karena ada media yang tidak impartial, namun kita harus melilhat ini sebagai bagian dari dinamika demokrasi, dan fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi di negara yang notabene demokratis seperti Amerika Serikat.

Kampanye negatif yang saya maksud adalah, pelanggaran kampanye misalnya. Dari stasiun TV yang mendukung Jokowi, mereka sangat hobi menyoroti persoalan surat Prabowo yang dikirim ke institusi sekolah. Sedangkan stasiun TV pendukung Prabowo, juga tidak mau kalah, meski frekuensi tidak gencar, televisi swasta ini juga sempat mengangkat kegiatan kampanye yang dilakukan pendukung Jokowi di Monas, dalam sebuah liputan khusus. Berita ini menjadi menarik, karena Monas memang sedianya menjadi tempat steril alias tempat yang seharusnya bebas dari kegiatan kampanye.

Ada baiknya jika pemberitaan negatif diganti dengan nuansa yang lebih sejuk, misalnya kampanye simpatik yang dilakukan kedua kubu atau mungkin kegiatan positif lainnya seperti kegiatan seminar, simposium dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, ada kalanya saya juga mendengar ada berbagai elemen masyarakat yang memberikan dukungan dengan cara-cara yang kreatif dan inspiratif. Begitu banyak hal yang laik mendapat sorotan. Tidak lain dan tidak bukan hal-hal yang dapat memberikan manfaat tidak hanya bagi kedua kubu capres namun tentunya juga memberikan pencerahan bagi calon pemilih nanti.

Sebagai penutup, mari kita merenung sebagai pemilih. Kita budayakan argumen dan pemikiran terbuka. Begitu banyak kampanye negatif di sekeliling kita. Ada baiknya kita abaikan kampanye seperti ini. Lebih dari itu, saya yakin banyak dari kita yang melakukan kampanye tidak langsung demi mengusung capres pilihan kita. Kampanye ini juga bisa dilakukan melalui berbagai cara, dan salah satu cara yang paling populer adalah melalui media sosial.

Mari kita berikan dukungan dengan cara yang konstruktif, misalnya jika kita memberikan komentar kepada  sebuah posting dari “kubu lawan”, maka berikanlah komentar dengan cara yang baik dan hindari kata-kata yang tidak enak dibaca khalayak. Lebih baik lagi, jika para calon pemilih dapat mengangkatnya ke dalam forum diskusi yang lebih ilmiah. Selain mencerdaskan, forum ini diharapkan dapat melatih kita untuk menjadi pribadi yang berwawasan dan cakap dalam berargumen serta berjiwa besar menerima perbedaan pendapat.

Akhir kata penulis mengucapkan, Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya dan selamat memilih.

 

 

 

Juli 3, 2014 at 2:23 pm Tinggalkan komentar

Menuju Indonesia Yang Sejahtera, Tangguh Dan Bermartabat

Twitter : @SenyumDunia

Judul di atas mungkin terdengar muluk atau bahkan sangar. Tentu saja bukan maksud penulis untuk menjual mimpi apalagi memberikan kesan yang galak.
Judul ini sengaja saya pilih, mengingat dalam beberapa hari ini Indonesia akan memilih seorang presiden baru. Seorang presiden, di mana di pundaknya terletak beban yang tidak ringan sekaligus memangku amanah rakyat yang tidak boleh diabaikan.

Sejujurnya, saya mendapat kesan bahwa antusiasme pemilih lebih terasa ketimbang ketika pemilihan legislatif yang digelar sebelumnya. Hal ini mengindikasikan, di tengah-tengah pesimisme yang kita rasakan, kita semua masih perduli dengan masa depan bangsa ini.
Tidak seperti pemilu sebelumnya, kali ini kita dihadapkan kepada dua pilihan yang sama-sama menarik. Terlepas dari gaya kepemimpinan yang berbeda, kecintaan dan keperdulian kedua capres kepada bangsa ini tidak diragukan. Mereka sama-sama punya ambisi untuk membangun bangsa ini menuju ke arah yang lebih baik.

Indonesia dengan segala kompleksitasnya memerlukan pemimpin yang tidak hanya punya misi tetapi juga mempunyai visi dan ambisi untuk mengangkat derajat bangsa ini sejajar dengan bangsa lainnya di dunia. Jika kita mau jujur, apa sebenarnya yang tidak dimiliki bangsa ini? Kita memiliki semua potensi yang dibutuhkan untuk maju, dari melimpahnya sumber daya alam, hingga sumber daya manusia yang berkualitas.

Sayangnya potensi kedua potensi ini belum tergali secara maksimal. Negara kita merupakan negara yang kaya akan potensi alam, dari mulai, laut hingga pertanian. Sebagai contoh, negara kita merupakan penghasil separuh dari rumput laut di dunia. Namun, hasil dari olahan rumput laut ini, belum sepenuhnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Contoh lain, berapa banyak produk yang ironisnya harus kita impor, sementara kita memilikinya dari ladang sendiri. Belum lagi penggundulan hutan yang terus terjadi. Hal di atas hanyalah sebagian kecil contoh, potensi negara yang tersia-siakan. Padahal, jika potensi ini dikelola dengan baik, bukanlah mimpi untuk mewujudkan rakyat Indonesia yang sejahtera.

Potensi alam Indonesia, sekali lagi jika dikelola dengan baik, menyerap begitu banyak lapangan kerja. Hijaunya sawah dan birunya lautan tidak berarti tanpa orang-orang yang berdedikasi untuk mengelola sekaligus mengembangkan potensi ini. Siapa tau jika potensi ini dimanfaatkan, saudara-saudara kita yang kini harus bekerja di luar negeri, sebagai buruh migran misalnya, dapat bekerja di tanah air dengan gaji yang juga laik dan cukup untuk kesejahteraan mereka.

Lalu, apa yang sebenarnya harus diperbaiki? Tidak sedikit PR (pekerjaan rumah) yang menanti presiden baru kita. Namun kalau boleh saya melanjutkan, saat ini begitu banyak sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas justru lebih memilih bekerja di luar negeri daripada di negeri sendiri. Begitu banyak keahlian yang dimiliki putra tanah air namun keahlian ini ironisnya lebih dihargai di negara lain ketimbang di negeri sendiri. Tidak saja dalam bentuk gaji yang menarik, namun di luar negeri, saya ambil contoh di negara-negara Eropa misalnya, yang mendasarkan seleksi pegawai berdasarkan kemampuan dan motivasi si calon pegawai dan tidak melulu mendasarkan diri kepada ijazah. Karena pada kenyatannya, begitu banyak individu yang mampu meniti karir dengan mengumpulkan pengalaman di dunia kerja.

Hal lainnya, di bidang pendidikan. Kita bangga tentu saja dengan prestasi yang sudah dicapai anak-anak bangsa selama ini namun sayangnya kesempatan mendapatkan pendidikan yang laik belum merata. Di negara kita biaya masuk perguruan tinggi misalnya, amatlah mahal. Dengan kata lain, perguruan tinggi hanya bisa dimasuki orang-orang yang berkantong tebal, sementara orang-orang yang pintar namun tidak mampu, harus berjuang sendiri untuk menggapai cita-cita mereka. Belum lagi diskriminasi. Saya masih ingat, beberapa tahun yang lalu ketika melihat sepotong iklan di koran yang isinya pembukaan pendaftaran di salah satu perguruan tinggi swasta. Saya tercengang ketika melihat ada bagian yang menyebutkan jika calon mahasiswa tidak memiliki cacat fisik dan mental. Jenis diskriminasi ini harus dihentikan, karena tidak sepantasnya sebuah institusi pendidikan justru “mengajarkan” pola pikir yang sempit.

Jika kita ingin jadi bangsa yang maju, maka pola pikir yang lebih terbuka sangat diperlukan. Sering kita mendengar kalau kita bangsa tempe, dan pernyataan ini dinyatakan dengan nada sinis. Padahal tempe merupakan salah satu komoditi penting Indonesia dan lebih dari itu, kita semestinya bangga menjadi bagian bangsa yang begitu besar. Kalau kita sendiri masih memiliki budaya minder bagaimana kita mengharapkan bangsa lain untuk melirik eksistensi kita.

Ada beberapa hal yang perlu dibenahi agar kita dapat mensejajarkan diri dengan bangsa lain. Salah satu caranya adalah dengan memperbaiki kualitas diplomasi kita. Ada beberapa hal setidaknya yang bisa dicapai melalui pendekatan ini. Di antaranya, penyelesaian masalah perbatasan dengan negara-negara tetangga yang hingga kini masih terus terjadi. Integritas negara kita perlu diperjuangkan jika kita tidak ingin wilayah kita dicaplok bangsa lain. Selain itu, Indonesia juga membuka diri untuk berperan lebih aktif dalam kancah internasional, tidak saja melalui partisipasi menjadi pasukan perdamaian tetapi juga misalnya dengan menjadi negara yang senantiasa dilibatkan dalam menyelesaikan konflik-konflik internasional.

Yang tidak kalah pentingnya, dengan kekuatan diplomasi, bukan tidak mungkin kita dapat memperbaiki nasib para buruh migran Indonesia dengan cara membuat nota kesepahaman dengan negara-negara tujuan. Maksud dari nota kesepahaman ini tentu saja bertujuan melindungi buruh migran kita dari perbuatan yang tidak manusiawi yang kerap diterima buruh migran kita. Kalau perlu, jika negara tujuan menolak atau kerap melanggar perjanjian maka Indonesia juga harus tegas untuk mengambil sikap menghentikan pengiriman buruh migran kita dan melaporkannya ke tingkat internasional, dalam hal ini Organisasi Buruh Internasional.

Lebih jauh lagi, jika kita mampu mempertahankan reputasi baik, ada hal lain yang dapat kita capai sebagai bangsa. Di antaranya, menjadi negara yang menarik minat investor. Investasi yang diharapkan masuk tentu saja investasi yang sifatnya menguntungkan negara kita, melalui negosiasi yang baik dengan negara-negara asal para investor dan pembenahan birokrasi yang rumit yang pada akhirnya hanya membuka peluang korupsi lebih besar lagi. Selain itu, sekali lagi dengan memajukan diplomasi yang handal, siapa tahu suatu hari nanti warga negara Indonesia dapat bepergian tanpa visa ke lebih banyak negara. Dan bukan tidak mungkin, kita dapat mewujudkan mimpi kita untuk menjadi tuan rumah perhelatan olah raga bergengsi seperti ajang piala dunia dan olimpiade.
Aspek-aspek dan contoh-contoh yang dikemukakan di atas hanyalah sebagian kecil dari apa yang harus dibenahi bangsa ini. Negara kita masih mewarisi masalah penegakan hukum dan tentu saja korupsi, yang harus diberantas.

Apa yang digambarkan di atas mungkin terdengar seperti mimpi. Setiap pencapaian diperlukan usaha dan merupakan bagian suatu proses. Apa pun yang kita impikan tidak akan terwujud tanpa usaha untuk mewujudkannya. Jadi dengan kata lain, sudah saatnya bangsa ini bangkit, karena jika bukan sekarang kapan lagi, dan jika bukan kita yang turut mengusahakan bangsa ini, siapa lagi.

Juli 3, 2014 at 2:17 pm Tinggalkan komentar

Tahun 2013 (dengan) Cita Rasa 2014

Twitter : @SenyumDunia

 

Pemilu presiden dan parlemen memang masih akan berlangsung setahun lagi, tetapi kita sebagai para calon pemilih sudah melihat gelagat menuju tahun 2014 sejak beberapa tahun terakhir. Tidak ayal lagi, tahun ini “aroma” ini akan semakin kental.

 

Jika kita amati bersama, tanda-tanda ini sudah terlihat, media sudah mulai memberitakan persiapan sejumlah partai politik hingga tingkat elektabilitas mereka. Tidak hanya itu, sudah menjadi rahasia umum jika tahun ini juga kita akan melihat siapa saja calon presiden yang akan bertanding, baik mereka yang sudah diusung resmi partai maupun mereka yang sekedar tampil sebagai wacana atau hanya karena begitu disayang publik dan juga media.

 
Bicara mengenai calon presiden misalnya, perkembangannya cukup menggembirakan. Para calon pemilih sudah disuguhi berbagai alternatif capres, dari figur yang sudah kita kenal dan santer diberitakan seperti misalnya Prabowo, Megawati, Yusuf Kalla, Abu Rizal Bakrie, hingga para tokoh yang berasal dari luar partai politik, sebut saja sang raja dangdut dan pengacara yang sangat populis. Mereka boleh saja mencalonkan diri sebagai Presiden, karena kita hidup di alam demokrasi namun, selama tahun 2014 belum tiba, kita semua masih memiliki waktu lebih dari cukup untuk memilih dan memilah siapa yang akan kita pilih nanti. Kalau boleh saya tambahkan, saya tidak terlalu memperdulikan latar belakang capres, mereka boleh dari kalangan sipil atau militer, selama mereka mampu memimpin dan menjalankan tugas serta tanggung jawabnya dengan baik dan dapat membawa negara kita ke arah yang lebih baik, itu yang paling penting.

 

Tidak hanya itu, tebar pesona partai politik dan capres sudah mulai terlihat di sana sini, dari mulai liputan muktamar, hingga iklan televisi yang dibungkus nuansa silaturahmi. Salah satu televisi swasta nasional bahkan sudah mulai gemar mengkampanyekan salah satu calon, dengan di antaranya mempertontonkan “jasa” dan “prestasi” yang sudah diukir kandidat yang bersangkutan. Tinggal sekarang kita melihat apakah media-media ini mampu berpijak kepada asas netralitas atau mereka cenderung menjadi juru bicara calon atau partai politik yang menaungi mereka. Fenomena ini bukan fenomena baru, tokoh politik atau politisi yang memiliki televisi swasta tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara-negara lain seperti halnya Amerika Serikat dan tentu saja, Italia.

 

Secara pribadi, saya sendiri tidak mempersoalkan hal ini, karena selihai dan sebaik apapun citra yang ditampilkan, keputusan ada di tangan pemilih. Pemilu ke pemilu sudah membuktikan bahwa pemilih Indonesia, bukanlah pemilih yang “mudah diyakinkan”. Kita semua masih ingat ketika pada kampanye tahun 2009 lalu partai Demokrat mengusung slogan katakan tidak pada korupsi. Slogan ini seketika sirna ketika pada kenyataannya partai ini tidak mampu mengembalikan kepercayaan publik, apalagi dengan keterlibatan sejumlah kader mereka dalam berbagai kasus korupsi. Tidak hanya Demokrat memang yang kadernya korupsi, tetapi pesan yang ingin saya sampaikan sekaligus prediksi yang saya lihat adalah, partai politik yang akan bertarung di tahun 2014 nanti diperkirakan akan memilih tema dengan lebih berhati-hati dan siapa tau mungkin saja lebih inovatif.

 
Tidak mudah memang, untuk merebut simpati pemilih. Di satu sisi, terlalu banyak janji namun dengan realiasi yang minim adalah pemandangan umum yang kita lihat menjelang atau selama pemilu, namun di sisi lain sebuah partai politik juga tidak mungkin tampil tanpa janji atau program apapun. Karena jika ini yang mereka lakukan, maka pemilih akan berpikir ulang akan kesungguhan mereka untuk tampil.

 

 

Strategi kampanye ini lambat laun akan terlihat juga. Apalagi media begitu rajin menyoroti peta kekuatan politik di Indonesia yang sangat dinamis ditambah lagi wara wiri hasil survey yang berlomba-lomba memaparkan hasil surveynya yang juga turut mempengaruhi pemilih. Seperti yang sudah kita lihat di tahun sebelumnya survey ini akan menampilkan partai mana yang tingkat elektibilitasnya tinggi, dan tentu saja calon mana yang masih menduduki urutan terfavorit. Satu hal yang pasti, saya tertarik dengan ucapan seorang partai politik yang pernah berujar, menjadi pemenang pemilu jauh lebih baik daripada menjadi pemenang survey. Karena pada dasarnya survey hanyalah indikator dan tidak dapat kita jadikan referensi mutlak. Karena pada gilirannya, fenomena menarik yang sulit diprediksi adalah adanya “swing voters”. Arah suara mereka sangat sulit dibaca, dan hasil “exit poll-lah” yang akhirnya akan bicara.

 

 

Bagaimanapun peta kekuatan yang terlihat melalui “cetak biru 2014” alias dinamika yang kita lihat tahun ini, saya berharap jika “pra kampanye”, sosialisi atau apapun namanya berjalan dengan sehat, sportif dan dalam koridor demokrasi.

 

 

Tahun 2013 ini baru saja dimulai, tetapi tahun ini merupakan tahun yang tepat untuk mempersiapkan diri menuju tahun 2014. Meski kelihatannya panjang, tetapi masa 1 tahun ini sebenarnya tidaklah terlalu lama, dan saya berharap partai politik dapat mempergunakan momen ini dengan sebaik-baiknya dan menitik beratkan programnya yang memang diperlukan bangsa ini. Saya kira kita semua sepakat, jika kita semua tidak memerlukan pencitraan atau kegenitan partai politik demi memenangkan suara rakyat. Yang kita perlukan adalah semangat dan komitmen dari segenap elemen bangsa tidak hanya untuk menang tetapi juga dilandasi semangat untuk berjuang dan bekerja demi kepentingan rakyat, dan bukan kepentingan yang mengatasnamakan (kepentingan) rakyat.

Januari 10, 2013 at 10:06 pm Tinggalkan komentar

Obama : Antara Harapan dan Realita Politik

Twitter : @SenyumDunia

Amerika Serikat kembali akan menggelar pemilu presiden. Sebuah peristiwa yang cukup mendapatkan perhatian dunia. Betapa tidak, menjadi orang nomor satu di negara paman Sam adalah posisi yang cukup strategis, tidak saja di tingkat nasional tetapi juga di tingkat dunia. Melalui berbagai manuver-nya dari masa ke masa, negara ini dicintai sekaligus dibenci. Kebijakan presiden Amerika Serikat juga senantiasa menjadi sorotan dunia. Dengan kata lain, menjadi presiden Amerika segala tingkah lakunya, tidak akan lepas dari perhatian internasional.

Dalam pemilu kali ini, dunia dipertontonkan dengan kemahiran dua kandidat, Presiden Obama sendiri dari partai Demokrat dan Mitt Romney dari partai Republik dalam beradu visi dan argumen. Pemilu inipun tidak akan menjadi Pemilu yang ringan bagi presiden Obama. Menjadi incumbent memang tidaklah mudah, karena dalam masa pemilu lawan politik senantiasa “memfokuskan” diri kepada sisi negatif dari sang incumbent, baik kebijakan-kebijakannya hingga apa yang sudah dicapai selama masa pemerintahannnya. Kritik seperti ini sah-sah saja tentunya sepanjang didasari fakta yang akurat dan disampaikan dengan cara yang baik.

Saya bukan penggemar Obama, tetapi harus saya akui tantangan yang diperoleh presiden yang pernah menghabiskan masa kecilnya di Indonesia ini memanglah tidak mudah. Ketika menduduki kursi kepresidenan, tentu saja disambut hysteria dunia, apalagi Obama, merupakan presiden pertama dari ras kulit hitam yang berhasil menduduki jabatan ini. Dunia dan tentu saja para pemilihnya pada kala itu menyambutnya dengan gembira, tidak terkecuali kaum kulit hitam yang semakin bangga karena perjuangan mereka selama ini membuahkan hasil yang sangat signifikan. Di sisi lain, tidak semua tentu saja yang menyukai Obama, gerakan “Tea Party” sebuah manuver nyata yang tanpa ragu-ragu menolak segala bentuk kebijakan Obama dengan cara yang “tidak ramah”.

Belum lagi sederet tuduhan yang dialamatkan kepadanya selama masa kampanye terdahulu. Sebut saja ketika dirinya dituduh bahwa Obama, ketika berada di Indonesia mengenyam pendidikan madrasah, yang diidentikan sebagai sekolah perekrut teroris. Tentu saja semua ini tidak benar, kita semua tau bahwa Obama mengenyam pendidikan di sekolah swasta Katolik dan di sekolah negeri di kawasan Menteng, yang sama sekali tidak mengajarkan bahkan jauh dari unsur terorisme. Dan yang lebih “heboh” lagi, isu yang mengatakan bahwa Obama bukanlah warga negara Amerika Serikat, yang juga terbukti tidak benar. Ayah Obama memang berasal dari Kenya, tetapi Obama lahir di Hawai. Dalam suatu acara makan malam, sambil bercanda dia juga mengatakan bahwa ia memiliki akta kelahiran yang membuktikan dirinya lahir di Hawai. Isu ini tidak hanya saya dengar dari media tetapi dari salah satu teman saya sendiri, yang berkebangsaan America. Ia malah mengatakan bahwa Obama berkewarganeraan Indonesia dan menggunakan paspor Indonesia untuk keliling Indonesia. Mendengar hal ini tentu saja saya tersenyum simpul, karena setahu saya ibunda Obama-lah yang kembali dan tinggal di Indonesia jauh lebih lama ketimbang Obama sendiri. Dan meski demikian, saya tidak menemukan berita atau data yang mengindikasikan kepemilikan paspor Indonesia, baik oleh ibunda Obama maupun Obama sendiri.

Tantangan yang dihadapi tidak berhenti di sana. Selama masa pemerintahannya saya melihat bahwa Obama mencoba menjaga jarak dari kemungkinan perang. Saya mengatakan “menjaga jarak” karena, ketika Perancis mempelopori penyerangan Libya, pemerintah AS tetap mengirimkan pasukan namun menolak untuk tampil di garis depan. Selain itu, sang Presiden juga menepati janjinya untuk menarik pasukan AS dari Irak dan Afghanistan. Namun demikian dalam skala yang lebih besar, misalnya perdamaian antara Israel dan Palestina hingga hari ini belum terwujud. Dalam masa pemerintahannya, AS bahkan masih jauh dari berhasil untuk mengoptimalkan upaya damai antara kedua bangsa. Tidak hanya itu, dalam krisis di Syria, AS hanya berada di garis depan sebatas di meja perundingan. Sementara di lapangan, hingga hari ini kekerasan tetap terjadi. Jika AS tidak menginginkan perang, negara ini bisa saja mengusahakan perlindungan masyarakat sipil di Syria, yang masih dilakukan separuh hati.

Dengan melihat fakta ini saja, saya terheran-heran mengapa Obama memperoleh hadiah Nobel perdamaian pada tahun 2009. Jika dibandingkan pendahulunya yang memperoleh hadiah Nobel, seperti Nelson Mandela dan Mikhail Gorbachev yang membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya, Obama tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk meraih anugrah perdamaian ini. Dengan kata lain penganugrahan ini terlau prematur.

Sementara di dalam negeri sendiri, tantangan ini tidak kalah kencangnya. Ketika Obama menggulirkan program jaminan kesehatan, begitu banyak pihak yang menentang rencana ini. Padahal sistem seperti ini sangat ideal, dan di antara negara-negara barat (yang maju) hanya AS-lah yang tidak memiliki sistim seperti ini. Apalagi, biaya kesehatan di negara ini tidaklah murah. Maksud dari usulan ini adalah menjamin akses warga Amerika Serikat dari segala lapisan, terhadap pelayanan kesehatan. Tantangan terbesar tentu saja diperoleh mayoritas partai republik. Setelah mengalami perjalanan yang cukup panjang, akhirnya usulan ini disahkan oleh Kongress dengan mengantongi 224 suara melawan 206 suara yang tidak setuju.

Di awal masa pemerintahan ini, AS juga memasuki masa krisis. Akibat langsung dari krisis ini adalah peningkatan jumlah pengangguran dan jumlah tuna wisma. Ironisnya, tidak semua tuna wisma ini pengangguran. Dengan kata lain, banyak di antaranya yang memiliki pekerjaan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan ini langsung menjadi sorotan dalam pemilu kali ini, dan keadaan dimanfaatkan kubu partai Republik untuk menjatuhkan Obama. Keadaan ini memang realita, tetapi yang perlu kita ingat adalah, Obama mewarisi situasi dari pendahulunya yang menghabiskan sebagian besar anggarannya untuk perang di Irak dan Afghanistan, dengan mengatasnamakan “perang melawan terorisme”. Krisis ini berbuntut kepada apa yang disebut “debt-ceiling crisis” atau krisis plafon utang.

Memulihkan krisis ekonomi di negara ini tidaklah semudah yang dipikirkan banyak pihak. Kombinasi masalah yang diwarisi dan krisis ekonomi Eropa, ditambah lagi kebijakan yang senantiasa dihalang-halangi partai Republik, membuat tugas ini terlihat semakin tidak ringan. Meski demikian masa kepresidenan pertamanya ini mampu menurunkan angka pengangguran. Untuk pertama kalinya, sejak ia menjabat presiden, angka penagguran tercatat kurang dari 8 %, yakni sebanyak 7,8% di bulan September. Fakta yang tentu saja membawa angin segar terutama selama masa kampanye ini, walaupun angka tersebut masih terbilang tinggi, dan masih harus diturunkan.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, sekalipun Obama nantinya memenangkan Pemilu, tidak berarti perjalannya akan mulus dan ringan. Semua ini tentu saja tergantung kepada partai mana yang akan mendominasi Kongres, dalam masa jabatan berikutnya. Kita hanya mengharapkan bahwa mereka yang berkuasa menyadari bahwa kepentingan negara jauh lebih penting dari pada kepentingan politik apalagi partai.

November 4, 2012 at 8:30 pm Tinggalkan komentar