Posts filed under ‘Aktual’

Yang Tersisa Dari Debat Capres Jilid 2

Twitter : @senyumdunia

 

Sengaja penulis menunggu hingga semua hingar bingar yang bergaung berlalu atau setidaknya hampir berlalu. Melalui tulisan ini penulis akan mencoba untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Di balik kebisingan dan kesinisan yang kerap beresonansi di ruang publik, ada hal-hal positif yang sayangnya seakan hanyut dalam isu-isu lain yang dipandang lebih seksi dan sensasional. Pertama-tama, hal-hal positif yang dimaksud adalah, adanya kesadaran publik untuk bergerak melakukan pengecekan fakta dan data. Hasilnyapun begitu cepat tersebar dan beresonansi di ruang publik yang berkembang menjadi diskusi yang menarik dan substantif.

Adanya kesadaran untuk ikut memverifikasi fakta dan data merupakan cerminan kesungguhan masyarakat untuk memperoleh data yang akurat dari sumber-sumber yang kredibel, terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Maklum saja, tidak cuma jelang pemilu, tapi selama beberapa tahun belakangan ini lini masa cukup dipadati informasi palsu atau lazim disebut hoaks. Sasaran penyebaran hoaks terutama para pengguna sosial media. Berita-berita palsu ini konon beredar juga di grup-grup WA. Kesadaran untuk mencari informasi yang tepat, merupakan inisiatif dan evolusi yang laik diapresiasi dan diharapkan akan terus berlanjut,  hingga ruang-ruang peredaran berita palsu, hoaks apalagi fitnah akan semakin sempit dan bukan tidak mungkin sirna.

Sebelum melanjutkan kepada sorotan berikutnya, harus penulis akui ketika debat berlangsung, penampilan kedua capres sangat baik bahkan bisa dikatakan lebih baik daripada debat pertama. Harus diakui ada perbedaan gaya di antara keduanya, walaupun strategi yang diterapkan masih belum berubah dan diperkirakan akan tetap sama hingga debat terakhir.

Salah satu topik yang masih dibahas beberapa media, setidaknya hingga blog ini ditulis adalah seputar konsesi lahan. Polemik ini bermula dari pernyataan pertahana yang menyoal “kepemilikan lahan” dalam debat kedua yang “disambut” sekaligus diklarifikasi penantang yang secara eksplisit lahan yang dimaksud memiliki status HGU. Seiring dengan bergulirnya polemik ini, beberapa media, termasuk di antaranya media online berlomba-lomba untuk mengupas topik ini dengan tidak hanya mengundang timses tapi juga para pakar di bidangnya dan juga para aktivis LSM. Tidak sedikit juga masyarakat yang berusaha menambah pengetahuan yang tidak hanya mencakup HGU tetapi juga reformasi agraria pada umumnya melalui media-media online.

Sekali lagi, ini adalah bukti lain dari kuatnya keinginan masyarakat untuk terus bergerak untuk memprovokasi pikiran. Itu artinya juga, para calon pemilih menyadari bahwa mereka juga bisa memainkan peran dan tidak lagi berperan sebagai penonton yang suaranya diperlukan untuk kepentingan elektroral.

Sebagai penutup, tentu saja mengenai Unicorn, tidak kalah menarik untuk disoroti. Jujur saja, sebelum kata ini terlontar pada perhelatan debat kedua, penulis tidak pernah berpikir kalau Unicorn adalah sebutan bagi perusahaan perintis yang bermodal besar. Andai saja, istilah yang digunakan adalah “start up”, masih bisa penulis pahami. Di sisi lain, ketidaktahuan ini yang justru memantik keingintahuan yang lebih besar. Beruntung kita hidup di era digital, dalam sekejap informasi yang diperlukan tersaji, lengkap dengan data dan fakta “unicorn” di Indonesia. Hasilnya, perlahan tapi pasti khasanah pengetahuanpun bertambah.

Debat kedua dengan segala dinamikanya biarlah berlalu, namun semangat untuk mencerdaskan diri sendiri dan menebarkan “virus” kebaikkan tidak boleh berlalu. Dengan semangat persatuan dan kesatuan pula, mari kita jelang debat cawapres, yang akan digelar pada tanggal 17 Maret nanti.

Maret 5, 2019 at 1:08 pm Tinggalkan komentar

Makna Sumpah Pemuda Dalam Era Kekinian

Twitter : @SenyumDunia

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan ucapan Selamat Hari Sumpah Pemuda. Hari bersejarah ini mengingatkan kita akan kesadaran pentingnya persatuan dan persatuan yang digaungkan 90 tahun yang lalu. Dan kini, dalam perkembangannya sebagian dari kita seolah lupa apa yang sudah dicatatkan sejarah dan apa yang sudah diwariskan para pendahulu kita demi kemajuan dan kedaulatan bangsa ini.

Salah satu bagian dari Sumpah pemuda adalah sumpah untuk berbahasa yang satu,  bahasa Indonesia. Pada era kekinian, penggunaannya begitu sering “tergeser” dengan kecenderungan kaum milenial yang lebih “bangga” menggunakan bahasa Inggris agar mungkin terlihat lebih keren.

Sayangnya, hal ini juga yang ditunjukkan para paslon presiden yang sedang berkontestasi. Anda pasti ingat polemik seputar pidato yang menyelipkan frasa “Winter is coming” dan “Make Indonesia Great again”.  Tentu saja para politisi dan kritikus sibuk mendebatkan dan memperbincangkan substansi dari kedua pidato, namun tidak satupun yang mengkritisi penggunaan frasa bahasa asing dalam pidato ini.

Secara pribadi, saya tidak anti bahasa Inggris dan atau bahasa asing lainnya, sebaliknya penguasaan bahasa asing penting karena bahasa asing, bahasa Inggris khususnya merupakan sarana pergaulan di dunia internasional. Di sisi lain, karena kedua pidato berlangsung di Indonesia dan ikut disimak seluruh rakyat Indonesia, akan lebih elok jika penggunaan bahasa asing sebisa mungkin dihindari. Hal ini penting, karena bahasa Indonesia merupakan salah satu ciri identitas dan kebanggan kita yang wajib kita jaga.

Seperti yang telah saya tuliskan diawal, persatuan dan kesatuan adalah semangat yang menjiwai kongres pemuda kala itu. Tantangan yang dihadapi lebih besar, yakni bersatu demi memerdekakan bangsa ini. Perjuangan mereka tidak hanya menantang, tetapi juga panjang dan mungkin melelahkan dan apa yang mereka perjuangkan itulah yang hasilnya dinikmati generasi kita sekarang ini.

Namun arus globalisasi, kelahiran media sosial dan riuh rendahnya kontestasi politik membuat sebagian dari kita untuk hanyut dalam diksi, narasi yang memecah belah. Begitu banyak pihak yang menyalahkan sosial media. Dalam hemat saya, yang salah bukan media sosialnya tetapi bagaimana kita mempergunakannya. Seperti halnya pisau, media sosialpun bisa digunakan untuk hal-hal positif dan juga hal-hal negatif.

Contoh yang paling nyata adalah, begitu seringnya terlihat komentar-komentar yang saling menghina, mengejek bahkan ada juga yang tidak segan-segan memfitnah. Jika kita renungkan kembali apa keuntungannya bagi kita. Bukankah kontetasi politik seharusnya dijadikan sebagai ajang kegembiraan? Pemilu bukan sekedar pemilihan presiden atau wakil legislatif tetapi pemilu adalah kontestasi yang mestinya dilalui dalam suasana kegembiraan. Artinya, berbeda pilihan boleh saja, itu adalah bagian dari demokrasi. Yang tidak dibolehkan adalah saling serang dengan narasi yang tidak bermutu, membodohkan, memaksakan kehendak dan memancing kebencian yang diakibatkan fanatisme buta.

Hari Sumpah Pemuda adalah momen yang senantiasa akan mengingatkan kita akan gagasan besar yang menjadi jiwa berdirinya bangsa ini. Dalam konteks milenial, adalah kesempatan bagi kita untuk melanjutkan semangat ini.

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan selain sekedar “perang” kata yang tidak pantas. Di antaranya, jangan mudah terprovokasi apalagi membalas dengan kata-kata yang sama kasarnya. Balas dengan argumen yang baik atau fokus kepada kebaikan dan program calon yang didukung tanpa menghina dan atau memojokkan kelompok lain dan pendukung kelompok yang tidak didukung. Cara lainnya, tidak ada salahnya mengadakan kegiatan-kegiatan bersama, olah raga, bakti sosial, nonton bareng, makan-makan dan lain sebagainya. Dengan adanya inisiatif semacam ini, diharapkan terbangunnya kesadaran kalau perbedaan itu indah dan bisa dirayakan dan dirasakan bersama. Kalau semangat ini yang dikedepankan maka siapapun yang ingin merusak kebersamaan kita sebagai bangsa akan berpikir ulang, dan tergerus eksistensinya.

Akhir kata, hal positif lainnya yang juga ingin saya soroti adalah tampilnya politisi-politisi muda dalam kontestasi kali ini baik yang tergabung dalam timses kedua paslon maupun yang sedang berkontestasi di tingkat legislatif. Pesan saya kepada mereka, belajarlah dari teladan bapak bangsa kita, ambil contoh yang baik dari politisi senior dan buang apa yang tidak baik. Bagaimanapun di tangan generasi mudalah bangsa ini ke depan akan kita titipkan.

Oktober 28, 2018 at 10:02 am Tinggalkan komentar

Pesan Semangat Dari Arena Asian Games 2018

Twitter : @SenyumDunia

 

Ulang tahun Republik Indonesia yang ke 73 merupakan ulang tahun yang sangat istimewa. Tahun ini Indonesia mendapat kehormatan menjadi tuan rumah Asian Games. Jakarta dan Palembang didaulat menjadi kota penyelenggara untuk pesta olah raga Asia yang berlangsung setiap 4 tahun sekali. Indonesia sendiri, mendapatkan kehormatan ini pertama kalinya pada tahun 1962. Tidak berlebihan rasanya kalau kita memaknainya sebagai momen yang bersejarah.

Seperti mengikuti panggilan sejarah, atlet-atlet yang berlaga di arena Asian Games ini menunjukkan prestasi yang patut dibanggakan. Pencapaian mereka tidak hanya lebih baik dari perhelatan Asian Games sebelumnya, tetapi juga mampu melampaui target semula, yakni sebanyak 16 medali emas. Tidak berhenti di situ, semangat yang terpatri bahkan mampu mengantarkan peringkat negara kita ke posisi 5 besar dengan perolehan lebih dari 20 medali. Menjadi harapan kita bersama, posisi ini akan bertahan hingga berakhirnya perhelatan pada awal September nanti.

Semangat juang para pahlawan Asian Game ini perlu diacungi jempol. Mereka berjuang dalam satu nafas dan semangat, yaitu semangat merah putih. Inilah Indonesia yang sesungguhnya. Pahlawan arena datang dari seluruh Indonesia dengan latar belakang suku dan agama yang berbeda. Yang ada dalam benak mereka adalah satu hal, mempersembahkan yang terbaik bagi bangsa dan negara. Hal lainnya yang bisa dimaknai adalah, pencapaian ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya usaha dan kesungguhan bersama. Tidak hanya atlet yang menyumbangkan medali dari berbagai cabang olah raga (cabor), tetapi juga kerja keras dengan dilandasi komitmen tinggi untuk mencapai prestasi dari segenap pengurus dan para pelatih.

Di luar itu, tentunya ada peran serta instansi terkait, dari mulai INASGOC hingga pemprov DKI dan Sumsel beserta jajarannya yang turut memastikan sarana, prasarana dan infrastruktur tersedia dan optimal guna lancarnya penyelenggaraan Asian Games kali ini.

Semangat dan sikap positif para athlet juga ditularkan kepada para pendukung seluruh atlet Indonesia baik yang ada di luar maupun di dalam arena. Bersama-sama, dalam suasana yang penuh suka cita, mereka menyampaikan dukungan semangat, baik dengan cara menyampaikan langsung maupun melalui pesan-pesan yang tersebar di sosial media.

Sayangnya suasana yang sedianya penuh sportifitas ini dibayangi bertebarannya komentar-komentar yang menyakitkan yang disematkan kepada para atlet yang belum berhasil. Sebagai supporter yang baik, sudah sepantasnya kita menghargai jerih payah mereka untuk mempersembahkan hasil terbaik. Bagaimanapun beban psikologis yang dipikul para pahlawan arena ini tidaklah mudah. Di pundak merekalah diletakkan harapan. Itu artinya meski kalah sekalipun, perjuangan dan kegigihan mereka tidak boleh diabaikan. Sebaliknya sebagai sesama anak bangsa, sudah selayaknya kita tetap memberikan dukungan yang kembali membangkitkan semangat dan ketegaran mereka.

Perhelatan ini tidak hanya diikuti para supporter melalui layar televisi. Saya sendiri, mengikuti jalannya pertandingan yang diikuti atlet Indonesia melalui youtube, suasana obrolannya begitu santai, seru, sarat semangat dan sportifitas. Ada oknum-oknum tertentu yang sayangnya mencoba memprovokasi dengan melontarkan kalimat-kalimat yang berbau SARA. Tanpa dikomando, sebagian besar kami menegur para provokator dengan cara baik dan kami tetap fokus membahas jalannya pertandingan dan memberikan semangat kepada tim Merah Putih. Hasilnya sang provokatorpun terdiam dan “terpaksa” mengikuti alur para supporter sejati. Kejadian ini memperlihatkan kalau provokator/pengacau ada di mana-mana, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Selama ada keinginan dan kesungguhan bersama untuk menjaga kesatuan, maka selama itu pula kita sebagai bangsa akan tetap utuh dan maju.

Perhelatan Asian Games kali ini bertambah semarak dengan masuknya cabor Pencak Silat untuk pertama kalinya dalam sejarah penyelenggaraan pesta olah raga negara-negara Asia kali ini. Olah raga asli Indonesia ini, diikuti 167 atlet dari 16 negara peserta. Indonesia sendiri menurunkan 22 athlet yang akan berlaga dalam 16 nomor. Negara kita setidaknya mendapatkan 2 kehormatan, tidak hanya masuknya cabor ini di arena Asian Games, tetapi juga keberhasilan para athletnya mempersembahkan 11 medali emas (hingga blog ini ditulis). Sebuah pencapaian yang luar biasa. Dengan masuknya cabor ini dan keberhasilan athlete Indonesia menunjukan prestasinya, kita harapkan Pencak Silat dapat menjadi bagian dari cabang olah raga yang akan dipertandingkan pada gelaran Olimpiade 2020 mendatang.

Perhelatan Asian Games ini akan berakhir pada tanggal 2 September nanti. Namun semangat persatuan, cinta tanah air dan sportifitas tidak boleh berakhir dan mesti kita tanamkan menuju Indonesia jaya.

 

 

Agustus 29, 2018 at 8:12 am Tinggalkan komentar

Bursa Cawapres : Ada Dia Yang Lain

Twitter : @SenyumDunaia

Hari Kamis silam, menjadi momen yang melegakan sekaligus penuh kejutan. Setelah berhari-hari bahkan berbulan-bulan menanti, jutaan rakyat Indonesia akhirnya menjadi saksi deklarasi pasangan capres-cawapres yang akan ambil bagian pada kontestasi pilpres tahun depan.

Dari koalisi petahana ada pasangan Jokowi-KH Makhruf Amin sedangkan di koalisi penantang ada nama Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno. Keempatnya merupakan putra terbaik bangsa yang mencerminkan keragaman latar belakang yang punya satu tujuan, kebaikan bangsa dan negara.

Ada pelajaran baik sekaligus menarik yang bisa kita ambil dari balik deklarasi bacapres-bacawapres kali ini. Dari koalisi petahana, usia bacawapres yang diusung bukanlah penghalang untuk maju menunaikan tugas yang lebih besar dalam semangat. Dengan latar belakang bacawapresnya seorang ulama, beliau membawa pengetahuan dan pengalaman yang bisa dikontribusikan sebagai “pasangan” yang akan mendampingi petahana.

Sementara di koalisi penantang, seolah melengkapi, bacawapres diambil dari calon berusia muda. Usia muda merupakan cerminan generasi penerus. Terlepas dari usianya yang terbilang muda, pengalamannya dalam dunia usaha, segudang prestasi dan kiprah singkatnya sebagai pejabat publik merupakan bekal penting untuk berlaga pada kontestasi pilpres kali ini.

Pelajaran menarik lainnya, betapa pentingnya nilai kompromi dan pengorbanan. Kedua kolisi melalui tahapan yang sangat panjang, alot dan melelahkan, terutama dalam proses penentuan calon wakil presiden yang akan diusung.

Sebagian bagian dari realitas politik, seperti dalam kontestasi pemilu yang lalu, tidak ada satupun partai yang boleh atau memenuhi syarat untuk mengusung calon sendirian. Koalisi adalah satu-satunya jalan, jika partai politik yang memiliki kursi berdasarkan pemilu 5 tahun yang lalu ingin mengusung capres-cawapres. Itu artinya, capres dan cawapres harus didaftarkan bersama-sama ke KPU. Tanpa adanya cawapres, seorang capres tidak akan mungkin mendaftar sendiri ke KPU.

Dalam suatu koalisi yang terdiri dari banyak partai, tidaklah mudah untuk menyatukan suara. Bisa dibayangkan jika setiap partai punya aspirasi, calon dan bahkan sudut pandang berbeda. Sementara hanya ada 1 tempat yang tersedia untuk posisi cawapres. Guna menghantarkan 1 calon, perlu adanya kesepakatan di antara partai koalisi. Suatu kesepakatan dapat dibangun jika ada pihak-pihak yang legowo dan bahkan berkorban.

Dari koalisi petahana misalnya, cawapres akhirnya diambil dari kalangan non partai. Karena ini dinilai jalan yang paling baik dan dapat diterima seluruh partai pengusung yang tergabung dalam koalisi. Dengan kata lain, tidak ada partai yang kadernya terpilih untuk maju sebagai cawapres.

Tidak kalah peliknya, hal yang sama juga terjadi di koalisi penantang. Meski ketika dicalonkan, cawapres masih duduk di partai yang sama dengan capresnya, namun sebagai bentuk kompromi, cawapres terpilih rela untuk keluar partai dan maju sebagai calon non partai. Tidak hanya itu, untuk menjaga totalitas dan sebagai bentuk komitmen penuh, kursi wakil gubernur DKI yang juga diperoleh dengan susah payah harus ditinggalkan.

Dinamika politik yang digambarkan di atas adalah pelajaran penting kalau koalisi, kompromi, musyawarah menuju mufakat merupakan realitas politik yang saat ini bergulir. Ada beberapa orang yang “menyayangkan” mengapa tanding ulang ini harus terjadi. Hal ini dikarenakan adanya UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal yang digugat itu mengatur bahwa syarat pencalonan presiden adalah memiliki dukungan 20 persen suara di parlemen. Dengan adanya aturan ini, mau tidak mau partai politik (hasil pemilu sebelumnya) harus berkoalisi. Sebaliknya jika tidak ada ambang batas, maka partai politik peserta pemilu punya hak untuk mengusung calonnya sendiri, dan dengan sendirinya akan hadir lebih banyak calon yang berkontestasi.

Selain merepotkan partai politik, adanya ambang batas ini menyulitkan kandidat yang akan bertarung, karena mereka tidak dalam posisi yang leluasa. Mereka akan sangat bergantung kepada jumlah partai pengusung demi memenuhi ambang batas persentase dukungan suara yang ditentukan.

Kita lihat bagaimana selanjutnya wacana ini akan bergulir. Sementara itu, kita hormati segala tahapan yang telah ditetapkan KPU, hingga jelang hari pemilihan pada bulan April tahun 2019 nanti.

 

Agustus 21, 2018 at 7:16 am Tinggalkan komentar

Belajar Menghormati Pilihan (Orang Lain)

Twitter : @SenyumDunia

Hingga blog ini ditulis spekulasi seputar “pengisi” posisi cawapres masih bergulir. Mengingat batas waktu pendaftaran yang kian dekat, membuat masyarakat semakin tidak sabar dan penasaran. Sementara itu, nama demi nama terus didengungkan, dukungan demi dukunganpun terus mengalir.

Mendukung atau mendeklarasikan dukungan kepada seseorang tidak salah bahkan sesuatu yang lumrah dalam demokrasi. Yang salah itu adalah ketika dukungan itu dipaksakan dan memaksa tanpa mengindahkan aspirasi dari pribadi yang didukung. Untuk mempersempit lingkup tulisan ini saya akan membatasinya kepada dinamika yang terjadi di “kubu” penantang.

Saya akan mengambil contoh dua figur yang namanya cukup populer didengungkan untuk mengisi posisi cawapres. Nama pertama yang akan saya soroti adalah Ustad Abdul Somad. Integritas, kemampuan, komitmen dan popularitasnya tidak diragukan. Apalagi namanya mengemuka sebagai hasil rekomendasi dari ijtima ulama yang digelar beberapa waktu silam. Dukungan dari berbagai kalanganpun tak kunjung surut.

Namun demikian, dalam berbagai kesempatan Ustad Abdul Somad, dengan segala kerendahatiannya, dan tanpa mengurangi rasa hormat kepada aspirasi umat, beliau telah memutuskan untuk tidak menerima pencalonan tersebut. Beliau bukannya menolak karena tidak mau, tetapi beliau memikirkan ada tokoh lain yang “lebih mampu” untuk mengisi posisi tersebut, dan lebih jauh lagi beliau juga menjelaskan keinginannya untuk tetap fokus di jalan dakwah dan sebagai pendidik. Ini adalah sebuah pilihan mulia sekaligus pernyataan sikap yang patut kita hargai dan hormati. Lagipula masih ada banyak cara untuk menunjukan dukungan dan ada posisi lain yang dalam pandangan saya tidak kalah penting, yaitu sebagai penerang dan perekat umat. Posisi ini tidak kalah terhormat dari posisi wakil presiden.

Tokoh berikutnya yang ada dalam posisi yang sama adalah gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Beliau seorang tokoh nasional yang juga sangat dihormati dengan pengalaman sebagai mentri dan pengalaman sebagai seorang gubernur. Seperti halnya Ustad Abdul Somad, beliau tidak pernah meminta posisi pencalonan capres atau cawapres, tetapi ada kelompok masyarakat yang punya aspirasi ke arah itu.

Menyikapi aspirasi ini, pak Anies berkali-kali menegaskan bahwa dirinya ingin fokus mengurusi Jakarta. Lagi-lagi tidak ada yang salah dengan sikap ini, dan kebesaran jiwa kelompok masyarakat yang mendukung sangat diharapkan. Ini adalah sikap negarawan dan pilihan yang mesti dihargai dan dihormati. Lagipula, tugas sebagai gubernur adalah amanah yang disematkan warga Jakarta, dan amanah inilah yang ingin dijaga.

Kita tidak mungkin membicarakan cawapres tanpa membicarakan capresnya. Sejauh ini (kecuali jika dalam beberapa hari ke depan ada kejutan dengan terbentuknya poros ketiga), capres penantang yang sudah dideklarasikan adalah Prabowo Subianto. Dari berita yang beredar saja, bisa dibayangkan berapa nama yang beliau terima dan harus beliau pertimbangkan untuk menjadi pendamping pada gelaran pilpres tahun depan. Pada satu titik, beliau sampai harus mengatakan kalau masyarakat percaya beliau untuk maju sebagai capres, maka beliau juga menghimbau agar masyarakat juga mempercayakan pilihan cawapres yang “dipinangnya” nanti.

Pesan tersirat dan tersurat yang bisa ditangkap adalah, memberikan dukungan kepada seseorang dibolehkan. Dalam koridor demokrasi, tidak cuma masyarakat yang punya hak tersebut tetapi juga partai politik sebagai partai pengusung. Itu artinya, jika kita ingin jadi bagian dari pesta demokrasi, kita tidak hanya punya hak untuk mendukung, tetapi kita juga dihimbau untuk legowo dan berjiwa besar jika seseorang yang kita usung/dukung, tidak menjadi kandidat yang dipilih. Sebaliknya, jika kandidat yang diusung sudah legowo untuk tidak menerima, bukankah ini sikap arif dan bijaksana yang patut kita hargai dan laik dijadikan contoh?

Bicara mengenai pilihan, kita juga bicara mengenai perbedaan pilihan. Dalam gelaran pilpres, besar kemungkinan hanya akan ada 2 paslon yang akan ambil bagian. Sebagai calon pemilih kita harus menyiapkan diri secara moral dan mental agar terhindar dari upaya adu domba dan pecah belah.

Sebagai sebuah bangsa, kita sudah mengalami beberapa kali pemilu baik itu tingkat daerah maupun tingkat pusat. Pada gelaran pilpres, dengan asumsi sementara ada 2 paslon yang bertarung, maka perbedaan pilihan adalah sesuatu yang tidak bisa dielakan dan perbedaan pilihan memberi warna dalam tatanan demokrasi yang sedang kita jalankan.

Itu artinya, berbeda pilihan adalah hal biasa yang tidak perlu diperdebatkan apalagi dipertengkarkan. Yang tidak baik dan mestinya terjadi adalah ketika perbedaan ini dijadikan alat untuk menyerang orang yang tidak kita pilih/dukung dan atau menyerang pendukung calon yang tidak kita dukung. Apalagi jika serangan dilontarkan dengan cara yang menghina dan penuh caci maki. Penyerangan tanpa adab dan sopan santun tidak boleh dibiarkan terjadi. Jika ini dibiarkan, maka akan ada pihak ketiga yang akan mengambil keuntungan dari situasi seperti ini.

Dengan kata lain, mulai sekarang mari kita maknai kalau perbedaan itu indah. Pemilu adalah pesta demokrasi yang sejatinya dijalani dalam kedamaian, kesatuan dan kegembiraan. Meski kita berbeda pilihan, kita tetaplah anak bangsa yang mengingingkan yang terbaik untuk bangsa ini. Oleh sebab itu, penting untuk mulai belajar menghargai pilihan orang lain dan mendukung dengan cara-cara arif, konstruktif, santun dan beradab.

Jika pilpres mendatang berjalan dengan aman, tentram dan damai maka bersama-sama kita akan dicatat dalam sejarah. Dan dunia akan melihat bagaimana kita mampu memberikan contoh demokrasi yang baik.

Salam persatuan dan salam Merah Putih!

Agustus 8, 2018 at 12:12 pm Tinggalkan komentar

Mencerdaskan Diri Sendiri

Twitter : @SenyumDunia

 

Ketika saya membaca sebuah artikel berita di situs media online, saya sering membaca komentar yang bunyinya kurang lebihnya seperti ini “kalau dongo jangan kebangetan donk”. Saya cuma tersenyum melihatnya. Di satu sisi tidak ada yang salah dengan kalimat ini. Di sisi lain, saya lalu berpikir apa sebaiknya kebodohan dan kedunguan tidak dipelihara walaupun dalam tingkatan yang terbilang “tidak kebangetan”.

Di kesempatan lain, saya pernah berbincang dengan seorang teman yang bertanya kepada saya kalau orang yang punya IQ jongkok itu ada. Jawaban saya hari itu adalah, yang ada hanyalah orang yang menjongkokkan IQ nya sendiri.

Maksud dari dua ilustrasi di atas adalah, pada dasarnya kita semua dikarunai kemampuan untuk berpikir, tinggal kemudian bagaimana tingkat kemauan kita untuk memanfaatkan karunia itu. Kemampuan berpikir yang kita miliki termasuk di antaranya kemampuan untuk mencerna, menganalisa sekaligus melakukan penyaringan informasi yang kita terima dan tidak kalah pentingnya bagaimana itu disikapi.

Para pembaca pasti pernah mendengar ungkapan seorang pakar filsafat yang mengatakan “Naikkan IQ anda, maka hoax akan turun”. Saya mencoba mencerna pernyataan ini, dan memang benar hoax ada dan beredar luas karena menemukan sasaran empuk. Sasaran mereka tidak lain dan tidak bukan adalah mereka yang malas berpikir, mengagungkan kebodohan dan parahnya menyebarkan virus kebodohan tersebut.

Begitu banyak berita provokatif, dengan gaya bahasa yang bombastis dan dramatis yang dipercaya begitu saja tanpa ditelaah kebenaran, keakuratannya dan sumber beritanya. Tanpa dicek terlebih dahulu, sebagian besar orang yang membacanya bahkan mungkin hanya membaca kepala berita dan langsung tekan tombol share, begitu seterusnya. Dengan prilaku yang seperti ini, tidak terbayangkan berapa juta virus kebodohan yang tersebar dan disebar. Berapa puluh juta individu yang terjangkit virus tersebut dan bahkan bangga “mengakui” kalau mereka terjangkit virus tersebut.

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar terhindar dari virus kebodohan ini. Pertama, tentunya dengan membiasakan budaya membaca dari sumber yang kredibilitasnya tidak diragukan. Dalam hal berita misalnya, kita dapat menjadikan berita dari media resmi sebagai sumber informasi.

Kedua, perlunya dibangun kesadaran untuk menyaring kualitas dan reputasi media yang bersangkutan. Pertanyaan mendasar yang dapat membantu adalah : apakah media yang bersangkutan membuat berita atau memberitakan. Sepintas hakekatnya sama, yaitu berita tetapi jika dicermati ada perbedaan signifikan antara “membuat berita” dan “memberitakan”. Membuat berita, bisa berarti melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangi dari berita yang sebenarnya. Atau lebih parah, membuat framing hingga apa yang diberitakan di luar konteks dari apa yang terjadi sebenarnya. Sedangkan memberitakan, menginformasikan berita sesuai dengan faktanya tanpa ditambahi, dikurangi atau diframe hingga menghilangkan isi berita.

Ketiga bedakan mana berita dan mana opini. Berita menyajikan apa yang terjadi, sedangkan opini atau ulasan disajikan dari sudut pandang si pembuat opini. Cara menyikapinya sama, biasakan membaca dan atau mengikutinya sampai tuntas agar tidak terjadi pengertian yang separuh-separuh. Jika informasi yang tersaji dalam bentuk video, usahakan untuk melihat versi utuh. Video yang sudah mengalami pengeditan, sering memotong/menghilangkan inti pesan/berita yang disampaikan hingga menimbulkan pengertian dan pemahaman yang salah.

Sebagai kelanjutan dari tips di atas, akan terlihat sumber mana yang laik dijadikan acuan dan mana yang tidak. Sepintas di atas telah saya sampaikan kalau “media” atau situs yang ahli menyebarkan hoax biasanya punya ciri mengedepankan judul provokatif dan nyaris tidak bisa dipertanggungjawabkan. Media seperti ini tidak segan-segan melancarkan serangan berupa fitnah kepada pihak-pihak yang bersebrangan dengan “pemesan berita”. Ciri lain, jika itu media online, situsnya berupa situs blog dan bukan situs berita resmi.

Bagaimana dengan media elektronik yang juga punya situs. Keresmiannya tentu tidak bisa diragukan, tetapi tetap saja ada media-media yang dalam pemberitaannya tidak obyektif, selalu memojokkan pihak tertentu dari mulai menggoreng isu berita, framing sampai fitnah. Media seperti ini tidak segan-segan menyajikan berita dengan cara memicu kebencian kepada pihak-pihak yang yang bersebrangan. Sebaliknya pihak yang mereka anggap sebagai “teman” dipuja dan dipuji habis-habisan meski pujian itu berlebihan dan tidak lagi sesuai fakta. Media seperti ini sebaiknya dihindari dan diabaikan. Selain tidak mendidik berita-berita yang disajikan seperti ini cenderung membodohi dan menyesatkan.

Berikutnya, biasakan membaca dan jangan terpaku kepada satu situs atau media. Bandingkan isi berita dengan topik yang sama di media-media lainnya. Media-media yang kredibel dan punya reputasi baik menjaga kualitas, konsistensi dan akurasi pemberitaan. Sumber beritanya jelas dan isinya bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan dalam hal wawancara dengan nara sumber, media-media seperti ini akan menghadirkan pakar-pakar yang tidak cuma ahli di bidangnya tetapi mereka datang dalam kapasitas seorang intelektual/pengamat yang keterangan dan informasinya bisa dipertanggungjawabkan.

Jika tahapan-tahapan di atas telah dilaksanakan, barulah berita yang dinilai baik untuk dibagikan, bisa dibagikan. Berbagi informasi akurat, berkualitas dan mencerdaskan memberikan kontribusi besar dalam pembangunan mental dan pikiran bangsa ini.

Terakhir bentengi diri dengan kecerdasan dan etika. Dua hal ini sangatlah penting karena, dalam hal berkomentar misalnya, seseorang yang cerdas tidak akan asal berkomentar, karena mereka merasa bertanggung jawab atas isi komentar yang mereka tuliskan. Mereka juga sadar kalau komentar yang mereka tuliskan dibaca banyak orang. Melengkapi kesadaran ini, kalimat demi kalimat yang tersemat juga dituliskan dengan santun dan menggunakan bahasa yang baik. Dengan kata lain, konsekuensi asal tulis dan atau dengan bahasa yang tidak santun tidak cuma kebodohan yang dipertontonkan tetapi juga mempermalukan diri sendiri.

Sebagai penutup, upaya untuk mencerdaskan harus datang dari diri sendiri. Secara bersama-sama, sebagai bangsa, usaha ini membangun manusia Indonesia yang cerdas dan berkepribadian. Kita adalah bangsa besar yang tidak mau tenggelam dalam kebodohan yang berkepanjangan.

Agustus 7, 2018 at 12:00 am Tinggalkan komentar

Survey dan Lembaga Survey : Pro & Kontra

Twitter : @SenyumDunia

Pilpres baru akan digelar tahun depan, namun gaungnya sudah mulai terdengar bahkan sejak beberapa tahun yang lalu. Tidak cuma media yang wara wiri memberitakan spekulasi seputar capres dan cawapres, tetapi juga lembaga survey.

Pada gelaran pilkada yang baru berlalu, masyarakat bahkan sudah disuguhi data-data yang kurang lebihnya memperlihatkan peta pertarungan pilkada dan siapa yang paslon yang dinilai punya tingkat elektabilitas tinggi.

Setelah masa pencoblosan berlalu, berita seputar lembaga survey pun merebak. “Kehebohan” ini bukan tanpa alasan mengingat hasil hitung cepat antar lembaga survey menyajikan presentase kemenangan yang berbeda. Tidak hanya itu, hasil hitung cepat berbeda dengan hasil-hasil survey yang dirilis sebelumnya.

Untuk “meramaikan” suasana ada sejumlah pihak yang bahkan menuduh macam-macam. Dari mulai data yang direkayasa hingga lembaga survey yang menerima bayaran, untuk menyajikan data yang memihak. Tidak sedikit juga yang mempercayai hasil survey ini bahkan mungkin ada sejumlah partai politik/paslon yang menjadikan data dari lembaga survey sebagai rujukan utama.

Sebagai masyarakat awam, saya tidak punya kapasitas untuk menilai kejujuran atau kebohongan data yang disajikan lembaga survey karena saya bukan ahli statistik dan bukan ahli survey yang memantau metode, alur data dan aspek lainnya yang bisa dijadikan referensi.

Yang ingin digaris bawahi melalui tulisan ini adalah, bagaimana dampak dan imbasnya bagi masyarakat awam. Hal pertama yang ingin saya garis bawahi, survey-survey yang dilakukan secara berkala, yang memotret kesukaan responden kepada calon atau tokoh tertentu dan tingkat elektabilitas para paslon yang berlaga. Hasil ini, pada tingkatan tertentu membuat orang lebih mempercayai hasil survey ketimbang melakukan riset atau informasi seputar paslon calon pemimpin mereka dan program-program yang ditawarkan.

Berikutnya, hasil survey seolah dijadikan jalan pintas menyusul “prediksi” yang disajikan siapa yang kelak jadi pemenang. Itu artinya, sebagian orang sudah merasa teryakinkan kalau survey mengatakan calon A yang menang maka itulah calon yang akan mereka pilih. Karena kalau diterjemahkan ada sejumlah orang yang mungkin mempertanyakan apa perlunya diadakan debat, kampanye dan lain sebagainya. Karena tanpa melihat itupun, lembaga survey sudah memberikan jawaban atas pertanyaan “calon mana yang patut dipilih”.

Tidak kalah menariknya, hasil survey yang berbeda dari lembaga survey yang berbeda, rentang waktu yang berbeda pula, malah membuat masyarakat semakin bingung. Ditambah lagi, lembaga-lembaga survey ini sudah menggelar survey mereka dalam rentan waktu yang panjang dan berulang-ulang. Pengulangan ini dari sudut pandang prinsip keilmiahan, memang bisa dipahami. Tapi bagi sebagian pemilih, survey yang digelar berkali-kali dinilai sebagai bentuk penggiringan opini

Sedangkan dari sudut pandang paslon dan partai pengusung yang sangat mungkin diuntungkan menjadikan hasil ini sebagai referensi mutlak. Hal ini disebabkan, sebagian dari paslon/partai pengusung yang diuntungkan sudah merasa menang karena begitulah yang dikatakan lembaga survey. Itu artinya, kampanye dan debat dilakukan sekedar untuk memenuhi formalitas pemilu.

Terlepas dari polemik yang ada, keberadaan lembaga survey ini tetap diperlukan bagi sebagian kalangan yang menjadi pengguna data hasil survey ini. Dalam konteks ini, ada baiknya kalau data atau hasil survey yang berkaitan dengan elektabilitas, popularitas atau hasil yang sifatnya memprediksikan pemenang/kemenangan paslon tertentu, tidak diungkap ke publik dan cukup dijadikan referensi bagi pihak-pihak yang memerlukan data ini, misalnya partai politik pengusung, dan atau pasangan calon yang akan bertanding.

Bagi partai politik, hal ini penting karena hasil survey merupakan barometer yang mendasari di antaranya keputusan calon mana yang akan mereka usung. Dalam kontestasi politik tidak bisa dipungkiri kalau menang adalah target dari sebagian besar atau bahkan mungkin semua paslon/partai politik. Selain ini, mereka memiliki gambaran apakah calon yang mereka usungkan nantinya akan diterima publik atau tidak.

Selain partai politik, media merupakan “pengguna jasa” yang juga penting bagi lembaga survey. Lebih tepatnya, media dan lembaga survey merupakan dua pihak yang saling membutuhkan. Di satu sisi media, memerlukan data ini dari lembaga survey untuk memberi nilai tambah bagi berita yang mereka sajikan. Di sisi lain, lembaga survey juga membutuhkan media untuk merilis hasil survey.

Dalam konteks media, sebagai sumber berita, agak sulit mungkin jika mereka tidak diperbolehkan untuk merilis hasil survey. Namun demikian, tidak berarti tata caranya tidak mungkin dirubah.  Jika lembaga survey didaulat media, maka dalam perilisannya ada aturan main, yang dalam hemat saya sedikit berbeda, dengan aturan main bagi partai pengusung.

Selain “aturan” untuk tidak merilis hasil survey yang dapat mempengaruhi/menggiring opini pemilih kepada publik, atau hanya digunakan secara internal, survey yang bisa dirilis adalah survey yang sifatnya umum, terbuka dan “membimbing” pemilih. Misalnya kisaran pertanyaan dititik beratkan kepada figur/ketokohan tanpa penyebutan nama. Contoh pertanyaan yang dimaksud, figur pemimpin seperti apakah yang anda sukai/dambakan?

Atau menitik beratkan kepada program, contoh pertanyaan, dalam 5 tahun ke depan bidang apakah yang perlu diberikan perhatian lebih atau perlu diperbaiki. Pertanyaan seperti ini, tidak cuma netral tetapi merangsang publik untuk berpikir kritis dan memicu partai politik pengusung untuk bekerja ekstra keras untuk mengusung calon berkualitas dan bukan calon populis.

Lebih jauh lagi, perlu diterapkannya aturan main bagi lembaga survey dalam merilis hasil surveynya kepada publik yang berkenaan dengan pemilu. Semisal, adanya batasan maksimal berapa kali hasil survey yang berkenaan dengan elektabilitas dapat dirilis. Supaya adanya keseragaman maka tidak salah juga diterapkan aturan kurun waktu dan intensitas yang sama. Itu artinya, tidak ada lembaga survey yang diperbolehkan merilis hasil survey di luar batas waktu dan intensitas yang telah ditentukan dan lembaga survey tidak lagi diperbolehkan untuk merilis hasil survey begitu pasangan calon secara resmi dicalonkan KPU. Baru setelah itu, mereka diperbolehkan untuk merilis hasil hitung cepat setelah TPS ditutup, seperti ketentuan yang berlaku saat ini.

Sebagai penutup, keberadaan lembaga survey baik. Namun demikian, demi menjaga iklim demokrasi yang kondusif dan netral, serta merangsang daya pikir kritis, janganlah survey disalah artikan sebagai alat penggiringan opini yang meredupkan stimulan diskusi penuh gagasan yang dilandasi cara pikir yang cerdas, kritis dan membangun.

 

Juli 18, 2018 at 9:34 pm Tinggalkan komentar

Piala Dunia vs Pilkada

Twitter : @Senyumdunia

Entah mana yang paling pas digambarkan, gelaran pilkada dalam bayang-bayang piala dunia atau sebaliknya. Yang pasti, tidak sedikit mereka yang harus memilih mana yang akan jadi fokus utama atau bahkan memilih untuk membagi fokus untuk kedua gelaran yang sama pentingnya.

Bedanya pilkada merupakan pesta demokrasi yang digelar di sejumlah daerah di Indonesia, sedangkan piala dunia digilai penggemar bola di seluruh dunia.

Kalau ada perbedaan, pastilah ada kesamaan. Meski keduanya memiliki lingkup dan bidang yang berbeda, baik pilkada maupun piala dunia merupakan ajang kompetisi. Di piala dunia, yang bertanding adalah negara-negara yang lolos babak kualifikasi, sedangkan di pilkada, yang bertanding adalah paslon yang diusung partai politik yang lolos verifikasi KPUD.

Laiknya suatu pertandingan, pastilah ada pendukung. Dalam pilkada, pendukung adalah calon pemilih yang mendukung paslon tertentu sedangkan dalam piala dunia supporter tim negara yang bertanding, adalah gabungan penonton yang datang langsung menyaksikan untuk memberikan semangat dan penggemar yang menjagokan negara favorit mereka.

Dalam perjalanannya, baik paslon maupun tim piala dunia yang bertanding akan diuji kemampuannya melaui sederet pertandingan, dari mulai fase grup hingga ke fase final. Sedangkan di ajang pilkada, fase pengujian harus mereka lewati lewat masa kampanye sekaligus kepiawaian mereka untuk menarik hati pemilih melalui debat.

Fase berikutnya adalah fase pencoblosan, sama dengan fase pertandingan dari tim yang berlaga yang mungkin sebanding dengan final. Sama seperti halnya piala dunia, hasil pencoblosan akan menentukan siapa yang terpilih siapa yang tidak, sedangkan dalam piala dunia hasil fase final akan memperlihatkan mana tim yang akan jadi pemenang, mana yang akan jadi pemenang kedua atau runner-up dan seterusnya.

Artinya, dalam gelaran piala dunia akan selalu ada tim yang berguguran dan tim yang akan melanjut ke babak selanjutnya hingga mengakhiri piala dunia sebagai juara dunia atau tidak. Sebagai pendukung, sikap sportif dari para supporter umumnya lebih cepat terlihat. Dan di situlah indahnya sportifitas.

Sebagai contoh, dalam gelaran piala dunia kali ini, saya sangat menjagokan tim Belgia dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka. Pada saat mereka melaju ke semi final, saya mendapatkan ucapan selamat dari teman-teman yang mendukung Brasil. Walau saya tau, bukan saya yang patut diselamati tetapi para pemain yang berjuang keras memenangkan pertandingan.

Pada kesempatan lain, ketika tim Belgia sayangnya tidak melaju ke final dan harus mengakui keunggulan Perancis, saya pun mengucapkan selamat kepada teman-teman saya yang kala itu mendukung tim Perancis. Terlepas dari perbedaan ini, kami tetap berteman. Jujur saja, perbedaan ini sedikitpun tidak mengganggu pertemanan kami.

Dengan kata lain, begitu pula bagaimana kita menyikapi hasil akhir pilkada. Kita sangat boleh berbeda pilihan dengan segala argumen yang kita miliki. Tetapi perbedaan ini janganlah dijadikan ajang konflik, saling caci, apalagi menghina. Sebaliknya ini adalah pesta demokrasi yang mestinya kita rayakan bersama-sama, dalam suasana penuh persatuan dan suka cita.

Kebersamaan ini akan terus kita jaga selamanya. Ibaratnya kalau selama gelaran piala dunia kita mampu menjadi pendukung sportif dan berjiwa besar, kitapun bisa menjaga semangat yang sama demi kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Juli 14, 2018 at 7:48 pm Tinggalkan komentar

Kepada (Mereka) Yang Terpilih

Twitter : @SenyumDunia

Sebelumnya, perkenankan saya menghaturkan ucapan selamat kepada pasangan calon gubernur dan gubernur yang telah terpilih untuk memangku masa bhakti 5 tahun ke depan. Semoga mereka menjadi pemimpin yang amanah karena di tangan merekalah masa depan propinsi mereka ditentukan.

Saya sengaja menuliskan kata masa bhakti dan bukan masa jabatan, karena para pemimpin yang mengerti apa arti kata memimpin akan menyadari sepenuhnya kalau keterpilihan sebagai kepala daerah bukan jabatan semata, tetapi di dalamnya ada amanah yang mesti dipegang teguh dan ada sejumlah janji/program yang “digemakan” semasa kampanye dulu, yang realisasinya tidak hanya ditunggu tapi akan diawasi warga masyarakat di mana mereka memimpin.

Janji adalah hutang yang harus dibayar, dan itu bukanlah sesuatu yang ringan apalagi di era digital seperti sekarang ini, jejak digital yang akan mencatat janji yang mereka berikan. Dan janji itu, yang kelak akan ditagih seiring berjalannya masa bhakti yang akan segera mereka masuki.

Tugas pertama yang menanti adalah merayakan kemenangan dengan penuh kesederhanaan dan kerendahan hati. Salah satu bentuknya adalah ucapan terima kasih dengan suasana kekeluargaan dan dilandasi ketulusan serta keikhlasan, dimulai ucapan terima kasih kepada sesame paslon. Karena bagaimanapun, kalian punya kepentingan yang sama, yaitu kepentingan untuk membangun dan memajukan propinsi yang akan dipimpin dan memastikan kesejahteraan masyarakatnya.

Ucapan terima kasih berikutnya tentu layak disampaikan kepada seluruh warga masyarakat yang telah berpartisipasi dalam gelaran pilkada kali ini. Mereka laik diapresiasi tidak hanya karena partisipasi mereka dalam memilih tetapi juga komitmen dan kesungguhan mereka hingga pilkada yang baru lalu berjalan dengan aman, damai dan lancar.

Tentu saja saya tidak mengesampingkan ucapan terima kasih yang disampaikan kepada partai pengusung, tim sukses, dan institasi terkait lainnya hingga pilkada kali ini terselenggara.

Tugas berikutnya mempersiapkan hari pelantikan. Saya tidak membicarakan penampilan di sini, tetapi konten kata sambutan/pidato (jika ada), yang isinya menyatukan, menyejukkan, mengajak dan merangkul. Hal ini penting, masa tanding sudah usai, dan gubernur terpilih akan menjadi gubernur semua. Itu satu, yang kedua adalah mencontohkan kesantunan, karena saya melihat nilai-nilai ini sepertinya kian meluntur. Sebaliknya jika hal ini dicontohkan pemimpinnya, bukan tidak mungkin prilaku santun ini seiring berjalannya waktu akan kembali tertanam.

Berikutnya sikap mengajak dan merangkul. Seorang pemimpin, dalam hal ini kepala daerah memang diberikan sejumlah wewenang untuk menata wilayahnya, namun demikikan seorang pemimpin tetaplah manusia biasa yang tidak bisa mengerjakan semuanya sendirian. Secara struktural, seorang gubernur memang dibantu para bupati/walikota tetapi secara sosial, program apapun tidak akan berjalan tanpa partisipasi masyarakatnya. Salah satu contoh kecil, menjaga kebersihan. Pemprov melalui jajarannya bisa saja menyediakan tempat sampah, layanan pembuangan sampah dan lain-lain. Tetapi jika masyarakatnya tidak punya kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya, maka apa yang diupayakan pemprov tidak akan berjalan maksimal.

Terakhir, tentu saja setelah euphoria kemenangan berakhir, bekerja hal berikutnya yang sudah bisa dimulai. Tanpa harus menunggu hari pelantikan upaya untuk melakukan dialog dengan petahana (untuk gubernur baru) bisa dilakukan, selain itu prioritas yang akan direaliasikan dari mulai jangka pendek hingga panjang (akhir masa bhakti), sudah bisa mulai direncanakan. Tidak ada salahnya pula, melakukan pertemuan dengan rekan paslon lainnya yang siapa tau programnya sesuai dengan visi dan misi kerja mereka. Di atas semua itu tentunya kesungguhan untuk mengemban amanah. Karena mandat yang telah diberikan merupakan cerminan kepercayaan sekaligus harapan dari masyarakat yang mendambakan perbaikan dan kemajuan propinsi yang mereka cintai.

Selamat bertugas!

Juli 11, 2018 at 6:22 am Tinggalkan komentar

Gelaran Pilkada Yang (Hampir) Usai

Twitter : @SenyumDunia

Masa pencoblosan sudah berlalu, dan para pemilih sudah memantapkan pilihannya. Hasil akhir tingkat kabupaten/kotamadya pun sudah diumumkan secara resmi oleh KPU. Namun demikian gelaran pilkada tingkat propinsi belumlah berakhir.

Hasil resmi tingkat propinsi baru akan diumumkan pada tanggal 9 Juli nanti. Kendati demikian, informasi berdasarkan hasil hitung cepat atau lazim disebut quick count versi lembaga survey sudah tersebar luas. Menyikapi hal ini, ada paslon yang dimenangkan merasa senang ada juga yang menyikapinya dengan penuh kehati-hatian.

Tidak sedikit orang yang bahkan menganggap kalau hasil ini adalah hasil resmi dan mengasumsikan jika paslon yang mereka dukung menang berdasarkan versi quick maka mereka otomatis menjadi pemenang sebenarnya. Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Karena bagaimanapun, secara formal, hasil yang dianggap sah dan resmi adalah hasil dari KPU dan bukan dari lembaga survey.

Dengan kata lain, yang kita lihat saat ini adalah pemenang versi lembaga survey. Hal ini perlu diketahui agar masyarakat tetap menghormati hasil akhir versi hitungan KPU dan tidak menjadikan hasil quick count sebagai referensi mutlak. Cukup dijadikan informasi yang sifatnya indikatif.

Lalu kalau pertanyaannya sekarang, manakah yang lebih akurat. Pertanyaan ini sulit dijawab karena metoda penghitungan versi lembaga survey berbeda dari metoda penghitungan versi KPU. Karena versi KPU yang merupakan hasil resmi tidak hanya melakukan penghitungan secara manual tetapi juga melalui penghitungan secara berjenjang dari mulai tingkat kecamatan hingga tingkat propinsi. Pendeknya hasil quick count sekedar memberikan gambaran tetapi sekali lagi hasil yang mereka umumkan bukan hasil resmi. Dengan kata lain, perbedaan hasil antara quick count dan hasil resmi masih terbuka.

Ketika hasil akhir diumumkan, baru pada titik inilah pilkada dinyatakan selesai. Dan selesai bukan berarti babak akhir, kesemuanya tergantung kepada paslon dan partai politik pengusung apakah mereka menerima hasil tersebut. Jika tidak dan atau ada paslon yang merasa dirugikan, maka mereka, sesuai dengan aturan yang telah ditentukan berhak mengajukan gugatan ke MK.

Terlepas dari proses yang panjang, tugas pemilih untuk mencoblos pada prinsipnya sudah usai. Tugas selanjutnya adalah menyikapi hasil pilkada nanti dengan penuh kearifan. Jika calon pilihan menang, sukuri tidak perlu disikapi berlebihan apalagi dengan mengejek paslon atau pendukung paslon yang tidak menang. Sebaliknya, yang paslon pilihannya tidak menang tidak perlu berkecil hati, sukur-sukur bisa menyikapinya dengan jiwa besar dengan cara mengucapkan selamat dengan rasa tulus, tanpa adanya kebencian apalagi rasa dendam.

Tidak ada istilah menang dan kalah dalam pilkada, yang ada hanyalah paslon yang terpilih dan paslon yang tidak terpilih. Hasil pilkada dan perbedaan dalam pilihan tidak perlu dibesar-besarkan. Karena mereka yang terpilih tidak akan hanya menjadi gubernur pemilihnya saja tapi gubernur semua warga masyarakat yang bekerja untuk kemajuan propinsi yang akan dipimpinnya.

Sebagai penutup, saya juga berharap, agar para paslon yang “bertanding” serta segenap partai pendukung juga ikut memberikan teladan dan contoh yang baik, demi persatuan, kemajuan kehidupan berbangsa dan demi menjaga semangat demokrasi.

Juli 8, 2018 at 8:48 am Tinggalkan komentar

Older Posts